Pages

Thursday, February 18, 2010

Malam Pengantin

Buat mereka yang sudah lama pacaran sebelum nikah, mungkin menganggap pengantin baru sebagai sesuatu yang biasa. Toh, sebelumnya juga mungkin sudah seperti pengantin-pengantinan. Tapi buat yang pacaran setelah nikah, pengantin baru terasa begitu special. Begitu istimewa. (kayak martabak telor!) Hal itulah yang kini dirasakan Tiyo.

Pemuda lajang usia dua puluhan ini kerap merasa sulit tidur. Dadanya pun sering berdebar-debar. Itu dirasakan bukan lantaran Tiyo mengalami gangguan jantung. Ia tidak sedang sakit. Tiyo sehat, bahkan sangat sehat.

Ketidaknyamanan itu dirasakan Tiyo pekan-pekan ini. Ia tidak tahu sebabnya. Kata orang, tiyo sedang gelisah. Kenapa? Apa karena dikejar-kejar utang? Bukan. tiyo gelisah karena lima hari lagi akan menikah.

Kenapa mesti gelisah? Tiyo sendiri tidak tahu. Entah kenapa, ia seperti sedang menuju lorong gelap yang penuh misteri. Masalahnya, calon isteri yang tidak sampai satu minggu lagi akan resmi mendampinginya seumur hidup itu baru sekali ia lihat. Itu pun tidak berduaan. Tapi, didampingi dua orang teman pengajian.

Apa Tiyo tidak suka cara seperti itu? Sama sekali tidak. Ia justru sangat senang. Tiyo sadar, karena dengan cara itulah, hati dan niatnya untuk menikah bisa lebih bersih. Semata-mata, karena ingin mendapat ridha Allah. Ia yakin, dengan cara itulah Islam menuntun ke jalan yang penuh kebahagiaan.

Tapi kenapa mesti gelisah? Itulah yang dibingungkan Tiyo. Ia khawatir tidak bisa bersikap wajar dengan isterinya kelak. Persoalannya sederhana: baru kali ini aktivis mesjid ini mengkhususkan diri dengan urusan perempuan. Sebelum-sebelumnya tidak. Jangankan berdua-duaan, disapa seorang gadis saja Tiyo sudah keringatan. Bicaranya pun tiba-tiba gagap. Kalau sudah begitu, Tiyo jadi sangat salah tingkah.

Nah, persoalan itulah yang kini kerap mengganggu pikiran Tiyo. Apa mungkin ia bisa bersikap wajar. Tenang. Dan tidak deg-degan. Bagaimana caranya? Gimana kalau setelah menikah, ia berada sekamar dengan seorang wanita yang sangat baru ia kenal. Apalagi kamar yang ia tinggali itu bukan rumah orang tuanya. Tapi, kamar sang perempuan. “Hiii, seram!”

Kebingungan itulah yang sempat memunculkan gagasan aneh Tiyo. Gimana kalau setelah akad nikah, ia ikut pulang ke rumahnya sendiri. Ia tidur di rumah orang tua sendiri, dan sang isteri tidur di rumah yang lain. Setelah itu, baru telepon-teleponan, surat-suratan, kunjungan malam minggu, dan seterusnya. “Bisa nggak ya?”

“Nggak bisa!” seorang teman menjawab ide ‘cemerlang’ Tiyo. Karena itu artinya, Tiyo tidak memperlakukan isteri dengan cara yang baik. Yang bingung itu kan cuma Tiyo, belum tentu calon isterinya. Bisa jadi, calon isteri Tiyo sudah lama menanti saat-saat indah bersama suami pilihan. “Jangan korbankan perasaan orang lain demi menutupi kelemahan diri!” Panjang lebar, teman dekat Tiyo memberikan alasan. “Jadi?” Tiyo minta jalan lain.

“Sebaiknya, malam pengantin nanti, kamu ngobrol-ngobrol dulu dengan isterimu, Yo!” jalan lain pun sudah ditawarkan. “Malam besoknya?” tanya Tiyo. “Ya ngobrol lagi! Sebaiknya, kamu yang lebih dulu nanya.” Dan, Tiyo pun mengangguk-angguk. Pikirannya pun menerawang. “Iya. Kenapa nggak dimanfaatkan buat berkenalan,” suara batin Tiyo menguatkan gagasan sang teman.

Lima hari pun berlalu cepat. Waktu seolah tak peduli dengan kebingungan Tiyo. Akad nikah berlangsung begitu khidmat dan meriah. Semua yang datang selalu menghias wajah dengan senyum dan doa. “Barakallah, Yo. Selamat, ya Yo!” Dan seterusnya. Tiyo pun menyambut dengan senyum bahagia.

Satu hal yang selalu diingat-ingat Tiyo: lebih dulu bertanya. Ia ingat betul nasihat yang teman, “Jangan sampai, isterimu jadi salah paham!” Iya. Memang benar. Tiyo mengukuhkan jawaban itu. Kalau ia diam, isterinya bisa salah paham.

Malam itu begitu senyap. Semua pintu rumah sudah terkunci. Hampir semua lampu rumah mertua Tiyo sudah padam. Kecuali lampu halaman dan kamar yang ditinggali Tiyo dan isterinya. Sesekali, suara deru kendaraan yang berlalu lalang di jalan depan rumah mengisi keheningan kamar Tiyo.

Rumus sang teman masih diingat Tiyo: tanya lebih dulu. Iya benar. Bismillah. Tapi, ada satu hal yang terlupa. “Ya Allah, aku lupa,” ujar Tiyo dalam hati. Mau tanya apa? Nanya nama? Alamat? Nama orang tua? Atau, nama suami? Tiyo lagi-lagi bingung. Keringat dingin mulai mengucur. Tapi, ia tak boleh diam.

“Hmm...,” Tiyo memulai pembicaraan. “Anu, hmm, saya mau tanya. Gimana menurut ukhti tentang poligami?” tanya Tiyo sekenanya. Cuma kata itu yang ia ingat.

Tak terdengar jawaban apa-apa. Lama sekali. Tiyo terus menunggu. Tiba-tiba, “Huk, huk, huk...” Isteri Tiyo menangis sesegukan. Dan, sang isteri pun keluar meninggalkan kamar.

7 comments:

  1. untung klo baik, tp klo tidak gmana donk???

    ReplyDelete
  2. wah kok ending nya nanya nya ga enak gt yah...grogi kah itu?

    ReplyDelete
  3. Wah terakhirnya tu agak menyakitkan yaw.... hehehhee

    ReplyDelete
  4. pecah durian dong..

    ReplyDelete
  5. hiah..hahahah...
    tiyo siiih...

    nggak dengarin kata engkong.....

    malam pertama heppy happy...

    tyo malah...hiah......kwkwkwkwkw...dudlz...

    ReplyDelete
  6. Ha..ha..ha..ha...
    Ampe segitu-gitunya si Tiyo...

    ReplyDelete
  7. Tiyo hanya demam panggung...istilah untuk orang yg akan tampil...dalam suatu acara di atas panggung.Kenapa demam panggung ? karena terlalu banyak yg dikhayalkan...Kenapa berkhayal..karena.memang belum tau sama sekali berhadapan dengan seorang wanita.
    Dan ini dialami oleh setiap manusia...baik orang seperti Tiyo maupun orang lbh pengalamn dari Tiyo.

    ReplyDelete